Ringkasan Buku Tony Rudyansjah berjudul Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi
Membaca tulisan Tony Rudyansjah dalam tulisannya yang berjudul Alam, Kebudayaan & Yang Ilahi pada BAB II kita akan lebih dipusatkan perhatian pada persoalan bagaimana tradisi pemikiran yang tadinya sangat naturalistik dan mekanistik, seperti yang dilakukan Hobbes dan Locke, kemudian bisa bertransformasi atau bergeser menjadi utilitarian dengan tokoh-tokohnya seperti Herbert Spencer dan Adam Smith. Pemikiran ekonomi Klasik dimasa awal zaman modern pada akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 mencakup hal-hal yang jauh lebih luas dan kompleks daripada apa-apa yangdicakup oleh gagasan ekonomik modern pada abad ke-20. Tercakup dalam perkembangan pemikiran ekonomik klasik itu adalah keseluruhan total dari pemikiran tentang masyarakat, moral, dan manusia pada umumnya satu cara berpikir yang sekarang telah menjadi bagian integral dari common sense, tidak hanya dari dunia Barat namun juga dari banyak masyarakat dunia abad ke-21.
Apa yang terkandung dalam tulisan-tulisan para komentator ekonomi politik pada abad ke-18 adalah gagasan psikologi yang agak sederhana bahwa manusia dikendalikan oleh gairah nafsu (passion). Dan permasalahan yang dihadapi oleh setiap masyarakat manusia adalah bagaimana kemungkinan untuk tetap dapat mempertahankan berbagai gairah nafsu manusia dengan cara menekan mereka atas nama satu kebajikan yang lebih tinggi. Teori rasionalitas itulah, melalui tokoh-tokohnya seperti Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, Adam Smith dan yang sebelumnya tidak pernah dituliskan oleh penulis yaitu Francois Quesnay, dapat memunculkan suatu cara baru dalam melihat gejala masyaraka dan kebudayaan, sekaligus menggoreskan satu bidang tersendiri yang sekarang ini disebut dalam istilah ekonomi dalam kanvas percaturan dunia ilmu pengetahuan manusia.
Dalam sejarah perkembangan disiplin ekonomi, para ahli sepakat bahwa Quesnay dan para pengikutnya, Phsyocrat, adalah para pemikir yang banyak meletakkan dasar penting bagi konsistensi internal bagi disiplin ekonomi. Melalui pemikiran Quesnay, sudut pandang ekonomis untuk pertama kalinya ditampilkan bukan sebagai satu seri dari sejumlah hasil pengamatan, sejumlah korelasi ataupun sejumlah aspek yang tidak berhubungan satu sama lain, melainkan sebagai satu keseluruhan yang tertata, satu sistem inter-relasi logis yang melingkupi keseluruhan wilayah kajiannya. Dengan kata lain perolehan status ekonomi sebagai suatu sistem yang konsisten justru dicapai dengan menempatkan ke dalam suatu sistem yang sesungguhnya tradisional, yaitu holisme yang berdasarkan suatu tatanan kosmis yang sangat tradisonal sifatnya.
Perkembangan pemikiran Adam Smith dari The Theory of moral Sentiments ke Wealth of Nation jelas membeberkan bahwa aktivitas ekonomi merupakan suatu aktivitas manusia yang tidak membutuhkan apapun selain kecintaan terhadap diri sendiri (self-love): hanya dengan mengejar kepentingan khusus demi diri sendiri itulah, manusa sesungguhnya tanpa sengaja telah bekerja demi kebaikan bersama. Dalam The Wealth of Nations, Smith memulai urainnya tentang deskripsi dari “universal opulence” (kekayaan universal) yang menurutnya merupakan ciri utama dari bangsa-bangsa yang telah “beradab” (“civilized”). Kekayaan atau kemakmuran itu, menurutnya menembus hingga lapisan terendah dalam masyarakat, dan itu sesungguhnya merupakan konsekuensi dan produktivitas tenaga kerja manusia (labour).
Seperti yang telah diuraikan oleh penulis bahwa dimensi politik sangat erat berkaitan dengan dimensi agama, yang lalu diikuti oleh sebuah tahap dimana politik kemudian justru memisahkan diri dari agama. Pada poin inilah kita sampai pada tahap selanjtnya dari proses pemisahan itu, yakni pemisahan antara ekonomi dan politik. Moralitas dan ekonomi menopang sekaligus menjadi basis yag kokoh dimana politik harus dikonstruksikan.
Kembali pada pokok permasalahan utama kita, maka perlu ditegaskan di sini bahwa disiplin “ekonomi” dari disiplin lainya, seperti teologi, politik, dan filsafat, baru dapat terwujud apabila pokok bahasan ekonomi sudah dapat dirasakan dan dipandang orang sebagai suatu sistem dengan satu keutuhan tersendiri yang bersifat menyeluruh. Melihat teori yang diutarakan Quesnay, Quesnay berupaya menggambarkan suatu masyarakat yang lama dengan satu sudut pandang yang baru. Seperti yang telah saya uraikan pada bab sebelumnya, dimensi politik sangat erat berkaitan dengan dimensi agama, yang lalu diikuti oleh sebuah tahap di mana politik kemudian justru memisahkan diri dari agama. Pada poin inilah kita sampai pada tahap selanjutnya dari proses pemisahan itu, yakni pemisahan antara ekonomi dari politik.
Satu aspek yang sangat menonjol dari konfigurasi pemikiran politik Locke adalah bahwa dengan mengartikan semua kepemilikan dalam arti yang luas (termasuk kehidupan dan kebebasan) berasal dari dalam diri individu, ia tidak hanya mensejajarkan atau menyamakan ekonomi dengan politik, melainkan membuat ekonomi menduduki tingkatan yang lebih tinggi daripada politik. Sementara itu di dalam filsafat alamnya, sebagaimana juga di dalam teori sosial dan politiknya, Smith menggunakan satu pendekatan relasional sebagai suatu perangkat metodologis yang universal sifatnya, meskipun harus dicatat di sini bahwa pendekatan relasional itu ditetapkan dalam bentuk yang sepenuhnya sangat kontras ketika digunakan dalam ranah filsafat alam dengan dibandingkan saat digunakan dalam ranah sosial dan politik dunia makhluk manusia.
Seandainya kita mau menguraikan persoalan di atas terlepas dari implikasi komologi dan filsafat alam, serta menurunkan uraian Leibniz dan Smith ke dalam keragka, yang lebih antropologis, maka mereka berdua pada dasarnya dapat dikatakan sedang menegaskan bahwa keseluruhan kemanusiaan saling berelasi dan saling bergantung satu sama lain. Menurut Smith untuk dapat memahami orang lain dan mengkonstruksikan orang lain, kita harus menempatkan diri kita ke dalam situasi orang lain melalui kemampuan imajinasi yang kita miliki. Dengan kemampuan imajinasi yang dimiliki setiap manusia, kita memiliki kemampuan untuk membawa kasus-kasus mereka ke dalam ranah batiniah kita. Dengan demikian mengambil-alih perspektif dari cerminan dunia relasi sosial dan dunia alami mereka yan historis sifatnya.
Memang benar bahwa arus pergerakan dari kehidupan ekonomi sangat tergantung pada kepentingan diri (self-interest): pembeli merespon tingkat harga, tenaga kerja merspon perubahan dalam upah, kewiraswastaan merespon kesempatan, karena mereka semua dipedomani oleh kepentingan diri (self-interest). Meskipun demikian, dalam Wealth of Nations, Smith menegaskan bahwa dalam masyarakat komersial ada semacam dorongan lain terhadap Self-betterment yang memiliki fungsi memberikan suatu dasar yang baik bagi perluasan sistem perdagangan dan manufaktur.
Apabila kita perbandingkan Adam Smith dengan pemikir yang telah dibicarakan sebelumnya. Akan nampak sejumlah perbedaan mencolok. Pada Hobbes yang menjadikan motif kuat dari pembahasan spekulasi politiknya adalah artificialism, yaitu gagasan bahwa kita hanya dapat mengetahui secara benar apa yang kita buat, karena segala sesuatu pada dasarnya senantiasa bergerak, sehingga hanya prinsip dan akibat dari gerak-gerak itu yang dapat dipahami secara natural dan mekanistik.
Sedangkan pada Locke, motif dari spekulasi politiknya lebih berdasarkan pada gagasan: hanya ide di dalam pikiran kita yang dapat kita ketahui. Kedua pendekatan tersebut, meskipun berbeda, mengandung kesamaan: hal-hal yang bersifat normatif senantiasa hadir dari awal sampai akhir pembahasan.
Hal yang kontradiktif muncul ketika ilmu ekonomi lahir sebagai semacam ilmu alam (natural science), yakni ketika ilmu itu berusaha mempelajari apa yang terjadi di luar sana sebagai suatu fenomena alam. Dengan demikian, ia menuntut pergeseran dari norma ke fakta. Namun karena pergeseran itu, sebagaimana seringkali lazim terjadi dalam setiap bidang keilmuan, tidak dapat sepenuhnya direalisasikan. Maka ilmu ekonomi harus dapat merekayasa normanya sendiri, dan hal itu hanya dapat dipenuhi dengan baik melalui diktrin natural harmony of interests yang kemudian berjaya dalam disiplin ekonomi.
0 comments: